Oleh : Js.Drs.Ongky Setio Kuncono, MM
Satya dan Tepasarira dalam perwujudan sehari-hari yang melandasi perilaku kita dapat ikut mengembangkan serta menyempurnakan perubahan segenap wujud.
Satya memiliki pengertian yang sangat luas, artinya satya di arahkan pada tiga objek yakni : pertama objek Thian (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai pencipta langit dan bumi serta isinya termasuk manusia. Sebagai pencipta Tuhan merupakan objek utama ( central). Yang kedua objek manusia sebagai makluk yang paling sempurna yang memiliki budaya dan sifat sifat sempurna pemberian Tuhan. Ketiga objek lingkungan (hewan, tumbuhan dan alam semesta).
Manusia sebagai makluk yang paling sempurna memiliki tugas utama menjaga dan melakukan hubungan kepada ketiga objek secara harmonis. Terhadap Tuhan, manusia menjaga hubungan yang harmonis melalui persembahyangan dan menjalankan Firman Thian dengan kesatyaan .Tuhan sebagai objek iman sebenarnya wajib bagi manusia satya akan FirmanNya. Kesatyaan terhadap Tuhan diimbangi pula dengan kesatyaan terhadap sesama manusia yang lalam agama Khonghucu terknal dengan istilah tepasarira (Tenggang Rasa). Sedangkan satya terhadap lingkungan dilakukan dengan menjaga keseimbangan lingkungan sehingga tidak lagi terjadi pemotongan tumbuhan secara bebas yang berdampak pada pemanasan global dan pada akhirnya menyengsarakan manusia itu sendiri.
Bs.Indarto, mengartikan Satya adalah “ Dengan hati yang tulus menghadapi orang lain /membantu orang lain.secara konkrit dikatakan “ kalau aku ingin tegak maka akupun membantu me-negakkan orang lain. Kalau aku ingin sukses maka akupun rela orang lain sukses “ ..
Satya dalam pengertian diatas hanyalah ditujukan untuk objek manusia yang tak lain menata hubungan harmonis manusia dengan manusia. Akan tetapi dalam kalimat berikutnya Bs.Indarto me-ngatakan bahwa Satya mengandung arti yang luas dimana bisa juga di tujukan kepada Thian, pemerintah, raja, organisasi dan manusia itu sendiri .
Hs. Suryo Bawono, mengatakan bahwa :” Satya secara vertical mengarah kepada Thian dan Satya secara horizontal mengarah kepada sesaama. Selanjutnya Satya pada akhirnya mengarah kepada ke-Esaan/Kebesaran Thian saja.
Memng tak ada salahnya bila kita mengatakan bahwa Satya hendaknya diarahkan kepada Thian. Hal ini ada beberapa alasan diantaranya :
1.Satya kepada manusia / sesama dan Satya kepada lingkungan tak lain akhirnya di tujukan kepada ke-Esaan Thian Sebab untuk bisa satya kepada Thian manusia harus bisa Satya kepada sesamanya dahulu. Konsep ini memberi gambaran bahwa ada tahapan dalam berkomunikasi dengan Thian (Satya Kepada Thian). Yaitu dimulai tingkat bawah/dasar menuju tinggi. Dan ke- semua itu tak lain mengarah kepada Thian sebagai pencipta alam semesta ini.
2.Satya mengandung nilai religi, sebab istilah Satya itu bermakna setia yang sifatnya total ( ada pengorbanan ) oleh karena itu berbakti kepada Thian lebih cocok memakai istilah satya, sedangkan berbakti kepada sesama lebih cenderung memakai istilah tepasarira.
3.“ Satya dan tepasarira / tahu menimbang itu tidak jauh dari jalan suci, apa yang tidak diharapkan mengena diri sendiri, janganlah diberikan kepada orang lain ”(Tiong Yong XII: 3)
4.Satya ( Kesatyaan ) merupakan ajaran Khongucu yang pokok disamping ajaran Kepercayaan ( Sien ), perbuatan ( perilaku ) dan pemahaman Kitab. Keempat ajaran Nabi tersebut kalau dihimpun merupakan ajaran “ Religius filosofi “ seperti apa yang tersurat di Lun Gi VII : 25 .“ Ada empat hal didalam ajaran Nabi ; Pengetahuan Kitab, perilaku, kesatyaan dan dapat dipercaya.”
Pengetahuan Kitab sebagai ajaran keagamaan, perilaku adalah etika moral, kesatyaan adalah wujud bakti kepada Thian yang kesemuanya itu dilakukan dengan apa yang disebut Kepercayaan ( dapat dipercaya )
Hs.Tjhie Tjai Ing, telah menyetarakan Satya dengan taqwa, bakti yang arahannya vertical kepada Thian. Sedang arah horizontal ( kepada sesama manusia ) Satya mengarah pada tenggang rasa / tepasarira.
Jelas bahwa Satya memiliki 2 arti pokok.secara vertical sifatnya religi, sedang secara horizontal sifatnya sebagai etika saja.
Jalan Suci Adalah
Satya Dan Tepasarira
Agama Khonghucu memiliki ciri khas tersendiri dalam memberi petunjuk umat dengat Thian. Dalam hal komunikasi dengan Thian perlu adanya keyakinan (Iman). Iman ini lah tercermin dalam realita kehidupannya yang akhirnya di wujudkan dalam bentuk satya dan tepasarira. Satya dan tepasarira (Tiong Si) merupakan jabaran jalan suci, yaitu jalan suci yang satu terapi menembusi semuanya. Inilah inti ajaran agama Khonghucu. Yang merupakan kristalisasi dari tripusaka ke-manusiaan, kebijaksanaan dan keberanian (Humanity,wisdom and courage). Selanjutnya Tiong Si ini menjadi lambang dari Genta Rohani /Bok Tok. Satya dan Tepasarira ini tak jauh dari jalan suci. Sedang jalan suci itu sendiri tidak jauh dari manusia, ada di dalam diri tiap Pria dan Wanita. Berlaksana benda lengkap dalam diri manusia.
Tugas manusia tak lain mengembalikan watak sejati pemberian Thian telah tertutup oleh nafsu. Kembali ke Fitrah Tuhan melalui perbuatan yang baik dengan mengharmoniskan hubungan ketiga objek Iman diatas. Yang demikian inilah menjadi manusia yang benar-benar manusia (Kuncu).
Hidup di dunia ini tak lain adalah menempuh Jalan suci selaras dengan Watak Sejati..
“ Maka seorang Kuncu tidak boleh tidak membina diri; bila berhasrat membina diri tidak boleh tidak mengabdi kepada orang tua, bila hendak mengabdi orang tua, tidak boleh tidak mengenal manusia dan bila berhasrat mengenal manusia , tidak boleh tidak mengenal Thian.( Tuhan Yang Maha esa ” (Tiong Yong XIX : 7)
Jarang terjadi manusia bisa satya kepada Thian, bila dirinya sendiri tidak tepasarira kepada sesamanya. Mka hidup di dunia ini harus menyempurnakan diri dulu agar supaya manusia mampu dengan sempurna satya kepada Thian.
Pembinaan diri menempuh Jalan Suci tak lain adalah melalui suatu proses panjang.manusia dalam hal ini wajib tekun mengikuti bimbingan Agama. Melalui bimbingan agama akan mampu menjaga dirinya dan merawat Watak Sejati (hakekat kemanusiaan). Dengan mengenal dan memahami watak sejatinya ia akan mengenal dan beriman kepada Thian.
Firman Thian Menjelma Sebagai Watak Sejati Yang Patut Diyakini
”Firman Thian itulah dinamai Watak Sejati. Hidup mengikuti Watak Sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci. Bimbingan menempuh Jalan Suci itulah dinamai Agama”(Tiong Yong Utama : 1)
Bahwasannya Thian telah memberikan Watak Sejati berupa Cinta kasih, Ke-benaran, Kesusilaan dan kebijaksanaan kepada manusia.di samping memberikan Watak Sejati, Thian juga memberikan nafsu. Antara nafsu dan Watak Sejati terjadi pergeseran (saling dominan). Melalui bimbingan agama yaitu menempuh Jalan Suci, manusia berupaya /berusaha bagaimana mengangkat watak sejatinya dan mengendalikan nafsunya. Dengan demikian mampu hidup di tengah harmonis maka kesejahteraan akan melingkupi langit dan bumi, segenap mahkluk dan benda akan terpelihara.
Thian yang memiliki Watak Sejati Gwan, Yang Maha Besar dengan segala sifatNya Yang Maha Indah , Maha Meliputi ,Maha Menjalin dan Maha Menembusi (bersifat Hing), Yang Maha Benar, Yang Menjadikan Maha Tepat (Tiong) dan Maha Harmonis (Hoo), Penuh rakhmat,menjadi segala pelaku menuai buah perbuatannya (Bersifat Li) Yang Maha Kuasa dengan HukumNya Yang Maha Abadi (bersifat Cing).Sifat Thian Gwan, Hing, Li Dan Cing menjadi Firman dengan Kebajikannya manusia dan alam semesta ini diciptakanNya. Manusia sebagai ciptaan Thian wajib melaksanakan tugas Suci Thian, sebab Thian menciptakan manusia untuk membantu pekerjaan Thian. Hanya kepada Thian lah manusia kembali, sebab segala perbuatan manusia hanya di pertanggung jawabkan kepada Thian. Dengan demikian sebagai konsekwensinya, manusia memiliki tiga pokok tugas. Yang pertama bakti kepada Thian, kedua bakti kepada orang-orang Besar (para suci), ketiga bakti kepada Nabi-Nabi (Sabda para Nabi). Inilah selanjutnya yang menjadikan seorang Kuncu yang dengan kesadarannya yakin akan FirmanNya dan melaksanakan sesuai dengan perintah Agama.
Penyanyi Ebiet G.AD, dalam lagunya
“ Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam bathin. Tengoklah ke dalam sebelum bicara singkirkan debu yang masih melekat…..”Selanjutnya “ Hanya kepadaNyalah kita kembali….”
Pernyataan tersebut menjelaskan kepada kita akan kebenaran Rasul Bingcu bahwa Watak Sejati yang baik dan baersih itu adalah adalah anugrah Thian.
Kedua Ebiet G.AD hendak mengingat kepada kita seperti sabda Nabi yaitu memeriksa diri.
”Tiap hari aku memeriksa diri dalam tiga hal ; sebagai manusia adakah aku berlaku tidak satya? Bergaul dengan kawan dan sahabat apakah aku berlaku tidak dapat dipercaya? Dan adakah ajaran Guru yang tidak kulatih?”(Lun Gi I : 4 )
Bila ada kesalahan untuk segera diperbarui.Semua itu akibat ingat ke-Esaan Thian dan takut kalau tidak bisa menjalaninya.. Dengan demikian manusia akan bertanggung Jawab atas perintahNya, dengan satya Searah dengan Sing Sin Hong Thian (Sepenuh Iman Percaya Kepada Tuhan Yang Maha Esa),Ini harus di imbangi dengan ibadah secara nyata serta mampu berbuat baik kepada sesamanya.
Manusia Dengan Satya Menerima Firman.
Firman Thian adalah kekal dan abadi serta tetap (tidak berubah).Oleh karena itu wajib menerimanya tanpa syarat.atas kehidupan manusia berasal dari Thian yang pada akhirnya akan kembali kepada tuhan .
“Sungguh Maha Besar Kebajikan Kwie Sien (Tuhan Yang Maha Rokh); dilihat tiada tampak,di dengar tiada terdengar,namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia” (Tiong Yong XV : 1,2)
Tuhanlah yang menentukan hidup dan penghidupan manusia.manusia dalam hal ini wajib dengan satya menerimanya.
“….Mati dan Hidup adalah Firman,kaya mulia adalah pada Tuhan Yang Maha Esa. Maka seorang Susilawan bersikap sungguh-sungguh,maka tidak khilaf…..” (Lun Gi XII : 5 : 2 )
“….Tiada sesuatu yang bukan karena Firman,maka terimalah itu dengan taat di dalam kelurusan; maka orang yang mengenal firman tidak akan berdiri di bawah tembok yang miring retak.Orang yang sungguh sepenuh hati menempuh Jalan Suci lalu mati,dia lurus dalam Firman…..” (Bingcu VII A : 2 : 1-3)
Demikianlah manusia menyadari dimana ada kehidupan pasti ada kematian,inilah takdir yang harus di terima.
“….Tentang Usia pendek atau Panjang,jangan bimbangkan.tetapi siaplah dengan membela diri.demikianlah menegakkan Firman….” (Bingcu VIII A : 1 : 3)
Namun manusia tidak hanya parah begitu saja.manusia memiliki akal,pikiran kehendak yang boleh mengubah nasibnya dengan usaha.manusia bukan hanya sekedar sebagai alat saja. Dengan kemampuannya merubah keadaan yang ada menjadi lebih baik.
” Firman itu sesungguhnya tidak berlaku selamanya” maka dikatakan yang berbut baik akan mendapatkan dan berbuat tidak baik akan kehilangan.”(Thai Hak X : 11)
“….Maka seseorang yang mempunyai kebajikan besar niscaya mendapatkan kedudukan, mendapat berkah,mendapat nama dan mendapat panjang usia…” (Tiong Yong XVI : 2)
Oleh sebab itulah manusia wajib menerima Firman. Ia takut akan sifatNya Yang Maha SegalaNya.
Tulisan ini pernah dimuat di Genta Rohani,MAKIN Bandung karya 73 juni 1993
Friday, January 23, 2009
Subscribe to:
Comments (Atom)
